Sehari Lab PCR RS USU Mampu Periksa 96 Sampel, Begini Mekanismenya

admin dirma
admin dirma
7 Min Read


MEDAN – Dengan keberadaan laboratorium Polymerase Chain Reaction (PCR) pertama di Sumatera Utara, Rumah Sakit Universitas Sumatera Utara (RS USU), Medan, berperan penting dalam proses identifikasi Covid-19. Hingga kini, tercatat sudah 541 orang menjalani pemeriksaan.


Hal tersebut diungkapkan Ketua Tim Laboratorium Pemeriksa Covid-19 RS USU, Dewi Indah Sari Siregar, dalam sesi wawancara yang dipandu Juru Bicara Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Provinsi Sumatera Utara, Whiko Irwan, di Media Center Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Provinsi Sumatera Utara, Kamis (07/05/2020).


Dewi menuturkan, sejak awal hingga saat ini, Laboratorium PCR RS USU sudah memeriksa 541 sampel atau specimen yang tersebar dari seluruh daerah di Sumatera Utara. Dalam keadaan normal, RS USU mampu melakukan pemeriksaan hingga 96 sampel per hari.


“Dengan catatan, hingga kini jumlah pasien yang dinyatakan positif dari sini (RS USU) sudah ada sebanyak 50-an orang,” terang Dewi.


Dijelaskannya, untuk melakukan pemeriksaan PCR, pada dasarnya terdiri dari dua langkah. Pertama, pemeriksaan pre-PCR, yakni ekstraksi. Kedua, menggunakan PCR, yang kini alatnya sudah dimiliki RS USU.


“RS USU juga punya alat ekstraksi yang sifatnya otomatis. Jadi itu sangat membantu kami dalam pemeriksaan. untuk bahan-bahannya sebagian dibeli oleh RS USU, sebagian dengan bantuan dari Menristek Dikti, juga dari Litbang Kemenkes RI dan BNPB,” ujar Dewi.


Adapun fase pemeriksaan, menurutnya, langkah awal adalah pengambilan sampel dengan swab, yang kemudian dimasukkan ke Virus Transport Media (VTM). tahap selanjutnya ialah ekstraksi virus, dan terakhir PCR.


Untuk metode pemeriksaan sendiri, Dewi menyebut, semuanya hampir sama dengan yang digunakan di seluruh Indonesia. Sebab setiap langkahnya tetap harus berkoordinasi dengan Puslitbangkes Kemenkes, baik dari segi hasil, kualitas pengendalian, hingga pemantapan kualitas ekseternal.


Terkait pemeriksaan specimen atau sampel yang diambil dari penderita Covid-19, menurut Dewi, pada prosesnya RS USU menggunakan cairan yang diambil dari dua tempat.


Pertama nasofaring dan kedua orofaring. Dalam hal ini, nasofaring adalah cairan tenggorokan bagian atas, dan orofaring merupakan cairan tenggorokan bagian tengah.


“Kedua cairan ini akan dimasukkan ke dalam VTM. Bila tidak ada, kita gunakan Universal TM. Kemudian nanti dikirimkan ke laboratorium pemeriksa. Pengiriman bekerjasama dengan dinkes daerah dan provinsi,” terang Dewi.


Soal pemeriksaan yang bisa dinyatakan negatif dan berubah menjadi positif untuk kedua kalinya, Dewi menerangkan bahwa ada beberapa hal yang bisa menyebabkan perbedaan antara swab 1, swab 2, dan swab 3.


Pertama, katanya, adalah pre-analytic, yakni teknik pengambilan sampelnya. Bagaimana penyimpanan VTM dan bagaimana cara pengiriman VTM sangat mempengaruhi hasil yang diperoleh.


Kedua, lanjut Dewi, terkait kapan dilakukan swab. Apakah terlalu awal, atau mungkin terlambat. Bisa saja hasil rapid test pasien positif, kemudian beberapa hari baru diperiksa hasilnya justru negatif.


“Salah satu yang menyebabkan hasilnya berbeda, ya itu tadi,”serunya.


Pemeriksaan PCR sendiri, ungkap Dewi, juga menggunakan gen. Sebab berdasarkan standar, ada beberapa jenis yang direkomendasikan WHO, seperti RDRP (RNA-Dependent RNA Polymerase) dan lainnya.


Namun pemeriksaan PCR bukan hanya untuk mengidentifikasinCovid-19, tetapi juga Sars atau Mers. Dimana pada masa pandemi seperti sekarang ini, pihaknya diminta meningkatkan sensitifitas.


“RS USU juga membuka (diri) bagi siapapun pasien atau warga yang merasa curiga dirinya terkena Covid-19, untuk datang ke sini,” ujar Dewi.


Nantinya akan ada tim khusus yang bertugas men-screening. Juga akan ada prosedur wawancara di awal, apakah ada keluhan dan riwayat kontak. Dari situ dapat dipilah, apakah pasien masuk dalam kriteria ODP, PDP, OTG, atau bahkan kontak erat.


Sementara untuk langkah awal, diakui Dewi, dapat dilakukan rapid test. Walaupun negatif, tetapi jika memenuhi kriteria yang keempat, maka pasien tetap bisa dilakukan pemeriksaan swab.


“Kalau dia curiga, boleh saja datang ke puskesmas. Nanti pihak puskesmas yang screening. Kalau mau datang langsung, kita buka dari pukul 10.00 sampai 12.00 wib, untuk screening dan swab,” pungkasnya.


Mengenai biaya operasional, menurut Dewi nominalnya mencapai Rp 1 juta hingga Rp 2 juta per satu specimen, tergantung produsen yang menghasilkan reagent (reagensia).


Reagensia sendiri ialah larutan zat dalam komposisi dan konsentrasi tertentu yang digunakan untuk mengenali zat lain yang belum diketahui, sehingga diketahui isi zat lain tersebut.


“Tapi perlu diingat, sampai sekarang RS USU tidak pernah menarik biaya untuk masyarakat. Keseluruhan biaya operasional ditanggung oleh USU, Mendikbud dan bantuan pusat, serta Pemprov Sumut,” timpalnya.


Dalam persoalan ini, kata Dewi, laporan hasil pemeriksaan specimen wajib disampaikan terlebih dahulu kepada Litbangkes Kemenkes RI melalui sistem daring. Kemudian dilanjutkan ke dinas kesehatan dan dapat juga dikirimkan ke RS yang merujuk.

Dia pun turut menceritakan bagaimana pihaknya harus bolak balik dan naik turun, untuk memastikan proses pemeriksaan tetap berjalan. Sebab, persediaan reagensi yang ada sangat terbatas. Hal ini juga yang dialami negara dan daerah lain, bukan hanya Sumatera Utara.


“Mulai dari VTM, kit ekstraski dan kit PCR, kebetulan reagen (reagensia) ini yang memang susah mendapatkannya. Punya uang pun belum tentu bisa dapat. Kemudian jika ada reagen jenis baru kita harus ulang uji coba lagi. Kalau sesuai dan dianggap baik, baru kita tangani pasien,”seru Dewi.


Atas dasar itu pula, Laboratorium PCR RS USU terus berkoordinasi dan turut beraudiensi kepada Gubernur Sumatera Utara, Edy Rahmayadi. Namun meskipun semua sudah bekerja maksimal, tetap saja barangnya susah dicari.

Sebaliknya untuk menemukan vaksin, Dewi mengakui langkah tersebut memerlukan fasilitas yang lebih lengkap dan sempurna. Sangat wajar, jika sampai saat ini penelitian ke arah itu belum juga dapat dilakukan.


“Namun tetap saja ada alternatif yang dapat dijalankan, yakni dengan plasma dari pasien positif Covid-19 yang sembuh,” seru Dewi. (zf)

Share this Article
Leave a comment