Oleh : Mauza Farah Yuriko T.
Mahasiswa Magister Ilmu Politik Universitas Indonesia
Pemilu adalah pesta demokrasi tempat rakyat memilih wakil dan pemimpinnya secara langsung tetapi jika kita menelisik lebih dalam, ada satu kelompok yang belum sepenuhnya mendapat tempat setara di panggung demokrasi yaitu perempuan.
Meskipun terdapat kuota 30% perempuan dalam pencalonan legislatif, nyatanya angka keterwakilan perempuan di parlemen hasil pemilu 2024 masih jauh dari harapan. Data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mencatat hanya 127 dari 580 anggota DPR RI yang perempuan. Angka ini serupa di DPRD provinsi, kabupaten/kota, dan DPD RI. Mengapa partisipasi politik perempuan masih stagnan, bahkan cenderung melambat?
Kekerasan Simbolik: Menghantui dari Balik Panggung
Salah satu faktor yang kerap luput dari sorotan adalah kekerasan verbal dan simbolik terhadap perempuan selama masa kampanye. Kekerasan ini tak berupa fisik seperti dari candaan seksis, anggapan perempuan tak layak memimpin, hingga larangan halus dari tokoh agama agar perempuan tak ikut mencalonkan diri.
Sosiolog Prancis Pierre Bourdieu menyebutnya sebagai kekerasan simbolik, bentuk kekerasan yang bekerja secara halus melalui bahasa, norma, dan kebiasaan sosial. Ia tidak terlihat, tapi sangat terasa. Kondisi ini menciptakan batas-batas tak kasat mata yang membungkam perempuan dan mengerdilkan kemampuannya.
Kekerasan verbal ini bukan sekadar ujaran kasar tetapi refleksi dari sistem sosial yang patriarkal dan eksklusif. Dalam konteks Indonesia, kekerasan ini menyatu dengan budaya politik parokial yang dijelaskan Almond dan Verba: masyarakat cenderung pasif, menerima otoritas tanpa kritik, dan mudah diarahkan oleh narasi dominan.
Bertarung Melawan Struktur yang Tak Setara
Perempuan yang ingin maju dalam politik tidak hanya menghadapi persaingan elektoral, tapi juga pertarungan sosial-budaya. Mereka harus melawan stereotip yang menyempitkan peran mereka pada ranah domestik, serta berhadapan dengan mesin politik yang masih dikuasai laki-laki.
Akses terhadap modal baik ekonomi, sosial, maupun simbolik masih timpang. Partai politik sebagai pintu utama pencalonan, seringkali tidak memberikan dukungan yang sama kepada kader perempuan Situasi ini menjadikan politik sebagai arena yang keras bagi perempuan.
Sering kali, saat mereka bersuara, yang didapat bukan apresiasi, tapi ejekan. Ketika mereka menunjukkan kemampuan, yang muncul justru cibiran. Kekerasan verbal menjadi alat untuk menyingkirkan mereka secara halus namun efektif.
Apa yang Bisa Dilakukan?
Ada sejumlah langkah penting yang bisa menjadi titik tolak perubahan:
Partai politik harus berani memberikan ruang lebih luas kepada kader perempuan, bukan hanya sebagai pelengkap kuota, tetapi juga sebagai pemimpin potensial.
Lembaga penyelenggara pemilu perlu memiliki mekanisme perlindungan terhadap kekerasan verbal dan diskriminasi selama proses kampanye.
Masyarakat harus didorong untuk lebih melek politik dan memahami pentingnya keterwakilan perempuan dalam lembaga legislatif.
Tokoh agama dan budaya bisa menjadi agen perubahan melalui pemahaman keagamaan yang progresif untuk melawan narasi yang menyudutkan perempuan.
Dalam Islam, misalnya, prinsip kesetaraan sangat ditekankan. QS. An-Nisa:1 menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan berasal dari satu jiwa, dan keduanya setara di hadapan Tuhan. Oleh karena itu, tak ada alasan untuk membatasi perempuan dalam berpolitik atas dasar agama.
Kekerasan verbal terhadap perempuan dalam politik bukan sekadar soal etika, tapi cermin dari sistem yang belum setara. Perjuangan menuju politik yang ramah perempuan adalah perjuangan untuk keadilan yang lebih luas. Karena ketika perempuan bebas bersuara dan berperan, seluruh masyarakat akan ikut maju.
Daftar Pustaka
Antlöv, H., & Cederroth, S. (2021). Elections in Indonesia. The New Order and beyond.
Ardiansyah, M. (2017, November). General election in Indonesia. In International Conference on Democracy, Accountability and Governance (ICODAG 2017) (pp. 66-70). Atlantis Press.
Coulangeon, P., & Duval, J. (Eds.). (2015). The Routledge companion to Bourdieu’s distinction (Vol. 1). London: Routledge.
Culla, A. S. (2005). Demokrasi dan Budaya Politik Indonesia. Sociae Polites, 5(23), 68-79.
Dalton, R. J., & Welzel, C. (2014). Political culture and value change. The civic culture transformed: From allegiant to assertive citizens, 1.
Joppke, C. (1986). The cultural dimensions of class formation and class struggle: On the social theory of Pierre Bourdieu. Berkeley Journal of Sociology, 31, 53-78.
Musarrofa, I. (2015). Mekanisme Kekerasan terhadap Perempuan dalam Rumah Tangga Perspektif Teori Kekerasan Simbolik Pierre Bourdieu. Asy-Syir’ah: Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum, 49(2), 458-478.
Ningtyas, E. (2015). Pierre bourdieu, language and symbolic power. Poetika: Jurnal Ilmu Sastra, 3(2).
Rosamond, B. (1997). Political culture. Politics: an introduction, 77-105.
Soetjipto, A. Gender, Election, and Women’S Parliamentary Representation: Analysis of the 2019 General Election. Booklet Series, 3, 24-52.
Swain, S. dalam Central Asia: Horiozon of Political Culture and People Participation. (2014). India: KW Publishers.
Weininger, E. B. (2002). Pierre Bourdieu on social class and symbolic violence. Alternative foundations of class analysis, 4, 83.
Sumber Utama Artikel
Materi Presentasi KemenPPPA dalam Diskusi Publik dan Peluncuran Hasil Penelitian “Pemilu Tanpa Kekerasan Terhadap Perempuan, Politik Tanpa Kekerasan, Demokrasi Tanpa Ketimpangan. Jakarta 2025.
Sita, A., dkk. (2025). Kekerasan Terhadap Perempuan pada Pemilu Indonesia 2024. Women Research Institute.